Bab 3: Anak dari Zaman Kini
Di kota besi, di zaman layar,
Tinggal seorang anak yang hairan benar,
Namanya Amir, hati pembakar,
Mencari legenda, ingin digegar.
Dia mendengar kisah purba,
Tentang desa batu, sumpah yang bisa,
Katanya dongeng, katanya dusta,
Namun hatinya mahu merasa.
Dengan kamera dan lampu suluh,
Dia menjejak hingga tanah lusuh,
Di mana kabus tak pernah surut,
Dan pokok tua seperti bersujud.
Langkahnya senyap, malam kian pekat,
Angin sejuk seolah berbisik niat,
Dia melangkah, tanpa sempat,
Disambut suara… perlahan, dekat:
“Salam...”
Nafasnya tersekat, jantung memburu,
Suara itu—serak, dalam, membatu,
Tapi rasa ingin tahu terlalu laku,
Dia sahut... dengan ragu:
“Waalaikum...”
Segala berubah—alam bergegar,
Langit terbelah, pohon menebar,
Dan dari kabus muncul jelmaan samar,
Wajah Sang Kelembai, mata bergebar.
Namun kali ini, dia tidak marah,
Dia mendekat... wajahnya pasrah,
Dan bertanya dengan suara parah:
“Mengapa... kau sahut... dengan redha?”
Amir berdiri, tubuh menggigil,
Namun matanya jujur, tak berpaling,
“Aku mahu tahu kebenaran siling,
Di sebalik sumpahan yang kau paling.”
No comments:
Post a Comment